Taliabu, Berantastipikor.co.id – Kuasa hukum tersangka penganiayaan, Mursid Ar Raham, SH, dalam pemberitaan sebelumnya oleh salah satu media online, menyebut bahwa kuasa hukum korban terkesan tidak paham hukum, kemudian kliennya telah mengikuti mekanisme gelar sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ia menggarisbawahi bahwa setiap penetapan perkara harus berlandaskan KUHP dan jika ada ketidaksetujuan terhadap keputusan kepolisian, maka dapat diajukan praperadilan.
Namun, Tawallani Djafaruddin, SH., MH, kuasa hukum korban, menilai bahwa terdapat kesalahan dan ketidaktahuan hukum dalam pernyataan kuasa hukum tersangka. Menurut Tawallani, KUHP mengatur tentang tindak pidana dan sanksi hukumnya, sementara Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur tentang proses peradilan pidana, seperti penyelidikan, penuntutan, persidangan, dan eksekusi putusan. Oleh karena itu, KUHP bukanlah alat untuk menentukan proses beracara, yang seharusnya diatur oleh KUHAP.
Tawallani menegaskan bahwa gelar perkara adalah bagian penting dari sistem peradilan pidana. Gelar perkara harus dilakukan oleh penyidik dengan menghadirkan pelapor dan terlapor secara langsung. Gelar perkara yang tidak melibatkan kedua pihak secara langsung dapat dianggap cacat hukum. Selain itu, gelar perkara juga harus dihadiri oleh ahli yang independen dan kredibel untuk memastikan kejelasan perkara.
Lebih lanjut, Tawallani menjelaskan bahwa menurut Pasal 15 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (Perkapolri 14/2012), gelar perkara adalah salah satu tahapan dalam penyidikan. Tahapan penyidikan meliputi penyelidikan, pengiriman SPDP, upaya paksa, pemeriksaan, gelar perkara, penyelesaian berkas, penyerahan berkas ke penuntut umum, penyerahan tersangka dan barang bukti, serta penghentian penyidikan.
Tawallani juga menjelaskan bahwa gelar perkara terbagi menjadi dua jenis: gelar perkara biasa dan gelar perkara khusus. Gelar perkara khusus dilakukan untuk merespons laporan atau pengaduan dari pihak berperkara, membuka kembali penyidikan setelah bukti baru ditemukan, menentukan tindakan kepolisian khusus, atau membuka kembali penyidikan berdasarkan putusan praperadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Menanggapi pernyataan kuasa hukum tersangka mengenai praperadilan, Tawallani mengungkapkan bahwa praperadilan diatur dalam Pasal 77 hingga 83 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan putusan Mahkamah Konstitusi. Praperadilan memiliki kewenangan terbatas untuk memeriksa sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penetapan tersangka, serta untuk memeriksa ganti kerugian dan rehabilitasi bagi seseorang jika perkaranya dihentikan.
Tawallani menanggapi dengan candaan, “Jika kami dianggap tidak paham hukum, itu lucu. Ibaratnya seperti ikan yang saling belajar berenang, sementara patung ikan mungkin saja tenggelam, kuasa hukum pelaku yang tidak paham hukum” ujarnya dengan nada sinis.
Sebagai kuasa hukum korban, Tawallani mengaku bahwa mereka berhak menilai penerapan Pasal 351 Ayat 1 KUHP dalam kasus ini tidak memenuhi rasa keadilan. Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa mereka tetap menghormati dan mengapresiasi upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Penyidik Polres Pulau Taliabu.
Sumber: Tawallani Djafaruddin, SH., MH/ Advokat